Teteh Titiem Si May

KISAH E

(GADIS CILIK PENCARI KEADILAN DAN CINTA)




Pagi selalu dalam senyuman, entah apa yang ada dalam hatinya. Menjeritkah? Menangiskah? Tapi dia teramat tabah. Ibunya pergi merantau kenegara orang dan tanpa kabar. Hanya bersama nenek dan saudara ibunya dia dititipkan dan hidup selama ini. Air mata balita ini sungguh masih suci. Dia masih teramat ranum untuk merasakan pedasnya jalanan yang berbahaya ini.

Dimanakah ayahnya? Tanya seorang tetangga kepada tetangga yang lain.

Hati serasa mendung, barulah datang sebuah jawaban, dari dalam yang ingin menangis juga ketika bercerita. “Ayahnya pergi ke kota orang, setelah brecerai dengan istrinya/ibu “E”, lantas ibu “E” memutuskan untuk pergi keluar negeri. Sejak itulah dia tidak lagi memberikan perhatiannya pada “E”, dan terdengar kabar dia sudah menikah lagi dengan istrinya dulu. Sampai saat ini juga tidak pernah menjenguk “E” sama sekali.

“Dosa kau,!!!, meninggalkan anakmu sendirian, menelantarkannya senidirian.!!!,” salah seorang lagi mengutuk dengan nada yang tinggi dan kesal.

**

“E”, seorang murid TK yang sudah terbiasa sendiri. Kesekolah sendiri meski jarak rumah dan sekolah terbilang jauh, tapi dia sudah terbiasa berjalan kaki. Kadang beruntung ketika ada orang yang memberinya tebengan, kadang juga dengan senang hati guru-gurunya yang mengantarkan dia, makan sendiri dengan lauk seadanya yang dimasak oleh si nenek tercintanya dan tantenya, cuci baju dan belajar semuanya dilakukannya sendiri. Usianya masih kurang dari 5 tahun. Tapi dia sudah seperti gadis kecil berusia 9 tahun. Bermain-main dengan teman sebayanya. Karena dia juga masih anak kecil yang senang dengan kebebasan.

Kehidupan yang membahayakan, siapa yang melindunginya? Neneknya kah yang sudah tua itu? Atau saudara-saudara ibunya? Kemana sejatinya kasih sayang orang tuanya? Dimanakah peran mereka untuk mendalangi hidup gadis kecil mereka? Begitu teganya mereka melepaskan buah cinta mereka yang manis ini.

Kadang dia diam di bawah pohon mangga itu sendirian, sambil menggaris-gariskan ranting kering di tanah. Entah apa yang dia lukis. Sebuah harapan barukah yang ingin mekar? Tiada yang bisa menjawab. Dia tidak pernah bercerita kepada siapapun tentang hatinya, karena dia belum pandai bercerita.Dia juga tidak pernah menangis, karena teramat kuat dia mengikat perasaannya.

Tapi tetangganya siang itu tahu, mereka dapat merasakan dalamnya luka kerinduan “E”kepada orang tuanya. Meskipun nenek dan saudaranya selalu menyayanginya, tapi cinta sebagai seorang anak juga layak dia dapatkan sebagaimana yang lainnya. Dekapan lembut orang tua dan kasih sayang sebagai gadis kecil tidak pernah ia tuntut. Terbuat dari apakah hati gadis kecil ini, hingga sebegitu kuatnya dia. Tak ada yang mampu menebak.

“Besok, ibuku datang bawa oleh-oleh” itu mungkin do’anya setiap sore ketika di mushola. Gurunya selalu mengajarinya sabar. Tapi apakah “E” mengerti ? apalah nalarnya sudah sampai kesana.

Dan, itulah kekuatannya “E” dia teramat sabar. Harusnya kita yang belajar dari dia. Karena dia adalah guru kita. Seorang gadis kecil yang penuh dengan sejuta do’a dan kesabaran. Tanpa disuruh bersabarpun dia pasti sudah sabar, karena kehidupan memang mengharuskannya dewasa sebelum waktunya.

Cinta balita yang belum menuntut keadilan Orang tuanya. Haruskah seorang ibu meninggalkan buah hatinya, disaat dia masihmembutuhkannya untuk menyiapkan sarapan pagi dan segelas susu sebelum berangkat sekolah ? haruskah juga seorang ibu meninggalkan dia tiap pagi dan malam sampai pagi lagi ? padahal dia masih membutuhkannya untuk menina bobokkan sambil membacakan dongeng tentang kehidupan yang indah dan penuh cinta. Bukankah itu kewajiban seorang ayah? Dimanakah mereka?. Jeritan kecil dari dalam hati “E” , meski tak pernah kentara.

Malam itu dia terlalu lelah karena seharian dirumah tetangga yang sedang ada acara pernikahan anaknya. “E” anak yang ringan tangan, tanpa malu-malu dan berat hati dia ikhlas disuruh kesini-kesitu oleh tetangganya, sampai mencuci piringpun dia lakukan. Di usianya yang masih teramat kanak-kanak itu. Tetangganya pun tidak pelit memberikannya uang jajan kepadanya, mereka sudah teramat sayang pada “E” yang penurut dan pendiam itu. Dia teramat gembira.

Dirumah yang sederhana, hanya bersama nenek dan tante-tantenya yang selalu menyayanginya. Ditutup buku menggambarnya setelah dia selesai mewarnai tugas dari sekolahnya dan belajar membaca sendiri ditemani neneknya yang selalu setia itu. Lantas dia pergi kekamar bersama neneknya. Direbahkannya tubuh yang mungil itu sambil membaca do’a “bismillahirrahmanirrahim” meskipun dengan nada yang terbata-bata tapi dia tergolong cerdas karena sudah bisa menghafal. lantas dia terlelap melepas beban yang telah ia jalani seharian. Berselimutkan kain tipis nan kusut itu, dia berusaha melawan musim dingin tanpa cinta dari orang tuanya.

Paginya, badannya panas. Dia sakit tapi sang nenek bingung dipikirnya hanya demam biasa, ternyata tidak. Badan “E” kian pucat dan demamnya tinggi sehingga mengundang perhatian keluarga tetangga sebelah rumah tempat dia tinggal.

Dibawanya tubuh “E” yang demam itu ke sebuah Puskesmas oleh keluarganya. Setelah diperiksa, “E” terkena tivus. Dia harus istirahat yang cukup dan harus makan makanan yang bergizi, kata dokter dia terlalu banyak berfikir. Sang nenek bersedih, melihat cucunya selalu dalam kesedihan. Sekali lagi tanpa cinta dan dekapan hangat orang tua. Yang seharusnya ada disaat dia sakit seperti sekarang ini.

“E” menangis, tapi dia sepertinya juga tidak menampakkan kerinduannya terhadap orang tuanya. Tubuhnya masih lemah, terbaring dikamar tidak berdaya di temani sang nenek. “E”, teramat dalam dan rapi dia menata penderitaannya. Yang entah apa ia menyebutnya, karena dia teramat kecil untuk bisa menyimpulkan sesuatu.

“Ibu…, ayah… ” itulah mungkin yang diharapkannya saat ini ada disampingnya…. Tanpa air mata dia terlelap.

***

Jalanansiang ini panas, tapi tak sepanas tubuh “E” yang masih sakit dan terbaring di ranjang ditemani neneknya. Tampak sebuah sepeda motor merek terkenal itu berhenti tepat di depan rumah dimana “E” dan neneknya tinggal.

Seorang laki-laki yang nampak masih muda itu mengucapkan salam, lantas memasuki rumah. Seketika “E” berlari kearahnya yang wajahnya masih sangat ia kenali itu, yang datang tiba-tiba itu setelah perceraian dengan ibunya dia pergi dan tidak pernah ada kabar.

“Ayah…., “E” berteriak gembira” berlari kearah ayahnya, berharap mendapatkan pelukan darinya. Air mata seolah tak bisa membohongi perasaan sudah lama dia pendam, berhasil meluluhkan cuaca dan suasana rumah yang kian haru itu.

Dipelukan sang Ayahm di usapnya air mata Ayahnya yang menangis, meslipun “E” juga sedang menangis, ayahnya bersedih melihat badan putrinya itu kurus dan sakit. Dia menyesal karena tidak pernah mempedulikan nasib putri tunggalnya itu. Dipeluk dan diciuminya tubuh gadis manis itu dengan rindu yang dalam dan rasa penyesalan.

Dimanjakannya sang putri dengan mengajaknya ke tempat wisata di daerahnya setelah dia sembuh. Berkeliling dengan putri tercinta yang pernah disia-siakanya selama hampir satu tahun itu, tapi sudah membuat kesedihan yang teramat dalam bagi “E”. dia pun masih sabar, tidak berontak dan marah sama sekali pada ayahnya.

Sebagai seorang anak, dia teramat bahagia hari ini karena mendapati cinta yang nyata dari keluarganya. Dan ayahnya memutuskan untuk merawat “E” sendiri, dia ingin membalas rasa salah yang pernah dia lakukan dulu. Dia berjanji akan membahagiakan “E”. sang nenekpun mengikhlaskannya, karena bagaimanapun dia orang tua kandungnya.

Dirumah yang besar itu, disitulah “E” sekarang tinggal hanya berdua dengan ayahnya. (Ayahnya juga sudah bercerai dengan istri pertamanya dulu, Setelah semuanyahilang, barulah dia sadar. Betapa dia masih memiliki buah hati, yang pernah dia tinggalkan itu). disana kehidupan “E” terjamin, karena ayahnya benar-benar menenepati janjinya. Tapi “E” tidak berubah menjadi anak yang manja. Dia tetap seorang “E” yang sabar dan ceria. Meskipun dia masih berharap ayah dan ibunya ada disisinya dirumah yang besar ini dan hidup bahagia.

Entah apa yang terjadi di luar sana, ibunya masih belum ada kabar. Terkadang “E” bertanya kepada ayahnya tentang kabar ibunya, tapi tetap saja. Rapatnya Negara orang menghalangi teriakan hati “E” yang rindu.

Angin manakah yang memberikan berita, tentang ibu “E” di luar sana. Dia akan segera pulang ke Indonesia bulan depan, karena majikannya yang dirawat (seorang nenek tua) sudah meninggal dunia. Jadi selesai sudah tugasnya disana.

Mendengar berita tersebut “E” sangat bahagia, dia semakin ceria dan semangat. Ayahnya bangga padanya, karena dia menyadari meskipun “E” tidak menuntut keadilan cinta, harusnya itu memang suatu kewajiban orang tua dan kesadaran mereka sendiri untuk memberikannya.

Di mushola yang baru, setiap sore dia mengaji dan berdo’a. entah do’a apa kali ini. Semoga Allah senantiasa mengabulkan do’a-do’anya. Semoga kebahagiaan senantiasa bersamanya. “E” gadis kecil yang bahagia.***

Label: | edit post
0 Responses

Posting Komentar