KARTU UNDANGAN
(Kisah Terakhir Teman)
R |
angga adalah salah seorang Mahasiswa di Universitas Brawijaya Fakultas Bahasa dan Sastra
Sampai di toko undangan mereka segera memilih-milih undangan yang bermotif sederhana dan unik itu dengan warna kecoklatan dengan hiasan daun-daun kering. Tampak sederhana dan menarik. Setelah membelinya mereka lantas berhenti disebuah rumah makan lesehan yang terkenal karena keunikan masakannya itu. Lalu mereka melanjutkan perjalanan pulang.
Di perempatan jalan raya yang ramai kendaraan lalu-lalang itu, ketika akan menyebrang tiba-tiba sebuah sepeda motor dengan kecepatan yang sangat tinggi itu menghantam sepeda motor yang dikendarai oleh Rangga dan Dilla. Mereka terjatuh dan terseret sepeda motor sejauh 20 meter. Mengetahui hal tersebut warga sekitar tempat kejadian langsung membwa korban di Rumah Sakit terdekat.
Kartu undangan berserakan memenuhi jalanan, darah-darah segar memenuhi jalanan sore yang masih terlihat terang itu, tampak ke dua sepeda motor yang hancur berserakan itu segera dibersihkan dan di amankan oleh beberapa warga dan Polisi yang kebetulan sedang berada di situ.
Di Rumah Sakit nyawa Dilla sudah tidak dapat diselamatkan lagi, dia sudah meninggal dunia meninggalkan Rangga yang sedang Koma di balut alat-alat medis Rumah Sakit. Seluruh keluarganya bersedih lantaran Dilla itu adalah anak tunggal yang cantik dan menurut.
Sebelum dia pergi mencari undangan ibunya memimpikan dilla yang sedang tersenyum cantik dengan mengenakan pakaian nikahnya dan membawa setangkai bunga mawar putih nan wangi itu, lantas dia berjalan mengikuti cahaya, semakin jauh dan hingga tak terlihat lagi karena tertutup kabut. Pagi itu ibu Niasti ingin menceritakan perihal mimpinya kepada dilla, tapi dilla terlalu terburu-buru jadi tidak sempat mendengarkan cerita sang ibu.
Kejadian yang masih belum bisa diterima, kehilangan anak disaat sebelum hari bahagianya dilaksanakan. Lantas tubuh Dilla yang sudah tidak bernafas itu di kebumikan di sebuah tempat pemakaman umum dengan bertaburkan mawar-mawar putih nan ayu. Seayu wajah dilla setiap harinya.
Mentari pagi setia menjaga tubuhnya agar tidak kedinginan itu, bunga-bunga segar setiap harinya selalu ada buat Dilla dari teman-teman dan sahabat-sahabatnya.
Luka membekas juga nantinya ada di hati rangga yang sedang koma dirumah sakit. Terbaring tanpa imajinasi tanpa senyuman dan tanpa mimpi. Semuanya berlalu seperti baru terbangun dari tidur. Rangga tersadar, dilihatnya disekeliling, tampak dia berada di sebuah ruangan yang asing.
“Ibu, Rangga dimana?” Tanya rangga penasaran
“kamu sekarang ada dirumah sakit nak,” jawab ibunya senang ketika mengetahui rangga sudah sadarkan diri setelah melewati mimpi panjang nan suram itu.
“Mana Dilla buk ?, besok
“Dilla ada, dia sedang istirahat dirumahnya.”, semabari menahan tangisnya dia menceritakan kejadian kecelakaan yang membuatnya seperti ini, dengan mengatakan kalau Dilla dalam keadaan baik-baik saja.
“maafkan ibu nak sudah membohongi kamu,” keluh bu Nana dalam hati yang tak tega menceritakan kejadian sebenarnya, yang akan lebih menyakitkan bagi rangga.
Sehari setelah itu rangga diperbolehkan pulang. Dia memaksa ingin datang kerumah Dilla. Keluarganya menolak karena Rangga masih belum terlalu sehat. Tapi rangga bersikeras ingin bertemu dengan Dilla. Dengan diantarkan Dio dan Vivi, mereka menuju kerumah Dilla dengan mengendarai mobil milik Dio.
Tampak rumah itu sepi, tak ada jawaban sedikitpun ketika Rangga mengucapkan salam dan mengetuk rumah Dilla. Kata tetangganya keluarga itu sudah pindah tempat sebulan yang lalu setelah kematian puterinya. Ibu nastiti mengalami depresi berat. Sehingga mereka memutuskan untuk meninggalkan rumah itu sementara waktu.
Rangga berusaha menghubungi hand phone Dilla, tapi selalu tidak aktif.
“Maksud ibu apa?” Tanya rangga pada seorang pemilik warung kopi di samping rumah Dilla yang mengatakan, “kelurga itu telah pindah rumah setelah…”
Ibu itu tidak berani melanjutkan pembicaraan, karena Dio dan Vivi segera membawa tubuh Rangga yang bingung itu memasuki sebuah mobilnya. Di bawanya rangga kesuatu tempat yang sangat asing, masih dengan undangan warna coklat yang dibelinya itu tergenggam ditangannya.
Mobil itu berhenti tepat di sebuah pemakaman umum.
“kalian ngapain bawa aku kesini?, kalian udah gila ya ?” Tanya rangga masih dalam penasarannya .
Tanpa kata-kata, mereka menunjukkan sesuatu yang sebenarnya masih terlalu berat itu. Sebuah makam dengan bertuliskan nama Dilla Puteri Nastiti bin Sudarya. Yang menunjukkan dia meninggal satu bulan yang lalu.
Tidak….., kalian pasti bohong… ini tidak nyata
“karena kecelakaan itu, Dilla mengalami benturan keras dikepalanya. Dia mengalami gagar otak. Akhirnya dia meninggal satu jam setelah berada di rumah sakit.” Jawab Dio sembari meneteskan air matanya.
Rangga menjerit histeris tidak percaya. Di orak-ariknya bunga-bunga rapi yang menghiasi makam Dilla itu. Dia melemparkan kartu undangan yang sedari tadi di genggamnya. Menangis tidak percaya, karena kecelakaan itu nyawa Dilla terenggut.
Begitu cepatnya waktu memberikan batasan cinta, kartu undangan adalah kenangan terakhir yang masih tetap Rangga simpan. Dua tahun lamanya dia masih menjadi seorang yang pendiam, di kampusnya bahkan dirumahnya dia tak lagi mau bicara. Kehilangan kekasih di saat sebelum pertunangan berlangsung itu menyisakan trauma dalam yang mengiris lembut hati Rangga. Entah sampai kapan, dia menjalani waktunya yang tanpa mimpi dan arah ini, hanya dia yang tahu pasti***.
nice, selamat yatampilan baru nih
hwehehehe.....
makacii