Teteh Titiem Si May

CERMIN

DI ILHAMI DARI KISAH NYATA

Oleh : NUR CH. TITIM


D

ua tahun sudah lamanya setelah aku lulus dari pendidikan terakhirku SMA. Sejak saat itu aku tidak lagi pernah pulang kerumahku. Aku membebaskan diriku menghirup udara yang luas dibelatara kehidupan ini meskipun sebelumnya tidak ada orang yang mengekangku. Kehidupan perkampungan yang teduh terkadang membuatku teramat rindu. Keluarga dan semuanya, terlebih lagi pada ibuku entah kapan terakhir kali aku melihatnya.

Dua tahun juga lamanya aku tak lagi mengirimkan pesan-pesan kerinduanku berupa do’a-do’a dan bunga-bunga segar dimakam ayahku dan Rangga kekasihku. Waktu kerap kali memaksaku untuk berontak, setelah kepergian ibu yang entah kemana itu, lantas Ayah yang meninggalkanku karena penyakit kanker paru-parunya. Sungguh tak pernah aku duga sebelumnya jika orang-orang yang aku sayangi harus lepas dari kehidupanku.

Penderitaanku semakin genap ketika Rangga kekasihku juga meninggal dunia. Saat setelah pesta miras dengan teman-temannya, tidak jarang pula aku diajaknya ke acara tersebut sampai aku tak sadarkan diri (mabuk), setidaknya itu yang bisa membuatku lebih tenang tanpa merasa terbebani kehidupan yang sesungguhnya suram.

Sore itu, setelah mengantarkan aku di tempat kost lantas Rangga berlalu meninggalkan senyumnya yang manis itu, dari tempat kost. Tiba-tiba sepeda motor yang ia kendarai terpeleset di jalan raya karena hujan yang turun saat itu sangat deras. Kemudian menabrak sebuah mobil Kijang dari arah yang berlawanan. Pengemudi mobil dan Rangga tidak dapat diselamatkan mereka terkapar digersangnya jalan raya dengan darah-darah segar yang mengalir, mewarnai jalanan umum itu tanpa batas arah.

Seperti tidak percaya, jika ini adalah kali terakhir aku mendapati senyumnya yang selalu membawaku dalam keteduhan jiwa yang utuh. Menyayangiku dengan segenap cinta yang tulus dan mendengarkan lagu-lagu hatiku dengan segala kekurangan dan ketidak berdayaanku. Aku ingin berontak, di pemakaman bahkan aku tidak tega melihat tubuhnya yang mulai tak kentara terpendam oleh tanah-tanah duniawi yang kecoklatan dengan seribu makna. Kini dia telah kembali kepangkuan Illahi, meninggalkan kenangan kisah cinta yang tulus.

Kerasnya kehidupan jalanan dan berbahaya sepetinya sudah kental dengan kehidupanku yang penuh dengan kebebasan ini. Bak seorang penguasa, kunikmati panjangnya waktu ini dengan semua yang membuatku senang. Dengan semua yang teramat pahit juga. Beberapa saudara dan keluarga berusaha mencariku dengan seribu ketulusan mereka ingin menyelamatkan diriku dari keterpurukan dunia yang sekarang aku jalani. Tapi aku tetaplah aku yang sudah terlanjur keras dan kaku menyikapi lembutnya perhatian mereka.

Kini aku hidup bebas dibalai-balai kota orang, di sebuah tempat yang asing. Aku berdiri santun ditengah-tengah kehidupan kota yang serba sulit, dikemerlapnya malam yang selalu menjanjikan kenikmatan meski hanya sesaat. Dengan menjadi seorang wanita penghibur, kurelakan diri ini dinikmati oleh mereka-mereka para penikmat surga-surga cinta demi kesenanganku dan mereka juga. Kadang sebagai pelampiasan kekesalan mereka. Hanya untuk menyambung kehidupan.

Meskipun terkadang aku menyesal telah membiarkan ketidak berdayaanku menjadi semakin tidak berguna bagi diriku sendiri dan dimanfaatkan orang lain. Bersama taburan lampu-lampu kota malam hari yang selalu memanjaku,hembusan angin yang seakan meberikan isyarat-isyarat kepadaku, senyuman bulan yang malu atau entah benci melihatku, aku bahkan tak pernah pedulikan itu. Karena aku sudah terlanjur jatuh didekapan cinta yang penuh dengan kelembutan itu bersama mereka.

Hari-hari aku lewati seperti aku tak pernah melakukan suatu kesalahanpun sebagai seorang wanita. Yang seharusnya bisa menjaga rahasia tubuh sebelum benar-benar jatuh di dekapan laki-laki yang syah (suami) kelak. Sebagai seorang wanita, yang entah masih pantas disebut apa tidak.

Malam ini kurasakan demam ditubuhku, setelah meminum obat aku berusaha untuk beristirahat. Aku duduk di depan meja rias dikamarku, sebuah kamar kost yang tidak begitu besar tapi cukup luas untukku memikirkan kembali kehidupanku yang tidak penah menemui jalan lurus itu. Ku ambil sebuah kenangan dari dalam tas kulitku, disebuah dompet kecil warna hitam, ku ambil dua lembar foto yang terpisah. Foto ayahku dan foto Rangga.

Seketika aku menangis, air mataku mengalir tak terhentikan lagi. Aku bersedih karena telah menghianati kepercayaan mereka. Aku terisak-isak menatapi diriku dicermin yang sudah tidak sesuci dulu.

“Ayah, Winda kangen sama ayah, Winda minta maaf ayah tentang perbuatan Winda selama ini, Tapi, kenapa ayah tega ninggalin Winda sendirian? Kenapa ayah? Kenapa?, Winda sendirian ayah, Winda tidak punya siapa-siapa lagi. ” kudekap selembar foto itu, berharap ayah akan datang membawa senyumnya untukku, meskipun itu sudah tidak mungkin lagi.

Kemudian foto Rangga yang tampan itu membuatku semakin bersalah karena aku telah menghianati kepercayaan cintanya. Tapi jujur dalam hati masih ada ketulusan cintaku untuknya.

Lantas aku teringat sepotret wajah nan ayu. Kupandangi fotonya yang mirip denganku itu nan tersenyum, aku melihat kecermin lagi. Begitu cantik diriku, aku bahagia memuji diriku sendiri. Tak sedikitpun berbeda dengannya. Tubuh sempai, dengan rambut yang hitam,panjang dan lurus yang selalu kubiarkan terurai terbawa angin, serta bola mata yang hitam dan senyum tipis yang manis. Aku kembali tersenyum sendiri.

Tapi, biar bagaimanapun juga kau tetap ibuku, kau tetaplah cermin kehidupanku, aku mencium fotonya dengan segala kerinduanku yang terpendam selama ini, meskipun………,

“Tidak, aku benci sama dia….”

“Aku tak ingin melihatnya lagi”

“Aku benci…. Dia, aku benci, aku kembali terisak-isak mengingat hal itu”

Emosiku mengeras mengingatnya lagi, sebuah kenyataan pahit yang dia lakukan pada aku dan keluargaku. Perselingkuhannya dengan seorang duda kaya itu, yang membuatku tidak terima sampai saat ini.

Apalagi, setelah kejadian itu dia tidak lagi pernah mengunjungiku sebagai seorang ibu. 14 tahun sudah lamanya, aku tak pernah mendapatkan perhatian dari seorang ibu. Tak pernah lagi datang untuk mendidikku sebagai seorang anak yang masih haus dengan kasih sayang. Aku benci dia, aku benci……

Dengan penuh kebencian malam itu, aku berlari kembali ketempat dimana aku selalu bisa mendapatkan kesenangan. Kuteguk kenikmatan-kenikmatan dari mereka pemburu cinta yang sudah menantiku dengan segala kerinduannya. Karena sebuah cermin yang indah, yang sesungguhnya retak. Aku kembali dalam gelapnya malam yang menjanjikan kenikmatan, meski hanya sesaat.

*** Tamat ***

Label: | edit post
0 Responses

Posting Komentar