Teteh Titiem Si May

JARAK SEBUAH DO’A

Pagi ini, aku baru saja mendengarnya, Sebuah makian yang keluar dari mulut ibuku, yang tak bisanya dia berontak kasar seperti itu. Sebuah kekesalan yang terungkap untuk seorang laki-laki, tentang sikapnya Selama ini. Ayahku, adalah seorang panutan kelurga yang dulu selalu bisa membawakan kami sebuah senyuman yang indah, seiring waktu bergulir, kehidupan keluarga juga berubah. Kesulitan ekonomi memaksa kami untuk hidup seperti sekarang ini. Begitu juga dengan perubahan sikap ayah.

Satu tas pakaiannya yang sudah dipak itu, aku sudah bisa menduga dia akan pergi dari rumah, meninggalkan aku, ibuku dan adikku. Entah kemana dia akan mengikuti arah angin. Mencari pekerjaan yang lebih layakkah atau entah apa yang akan dia temui di luar sana. Karena gemerlapnya malam sering kali mengenggelamkan perasaan. Kadang menghancurkan seperti kehidupan yang aku alami.

Sebuah perselingkuhan, adalah suatu hal yang masih membekaskan luka di hati ibu, terutama aku sebagai gadis remajanya yang memergoki kejadian itu. Perselingkuhan ayah dengan istri seorang polisi nan cantik itu, juga dengan seorang janda kaya yang jarak rumahnya tidak jauh dari tempat tinggalku. Aku sangat terpukul dengan semua ini. Awal kali aku memergokinya ketika dia ayahku meminjam hand phone ku.

Di ketiknya pesan-pesan itu, katanya untuk saudaraku yang di luar kota. Setelah selesai mengirim pesan, ayah ku lupa menghapus send itemnya, entah lupa atau tidak bisa, karena selama ini ayah jarang pegang hand phone. Ternyata ayahku sempat salah kirim. Pesan singkat (SMS) itu dikirim ke nomor hand phone teman sekolahku dulu Alangkah kaget diriku ketika mendapati pesan dari teman sekolahku dulu, . namanya Vivi. Isi pesan itu :

Dil, apa maksud SMS u ini aku gak ngerti ? ” Sayang nanti kita ketemuan di tempat biasa (padang bulan).lz

Aku sangat kaget dengan sms itu. Langsung aku mencari alasan untuk menutupi rasa malu ini. Padang bulan, itu adalah suatu tempat gelap yang penuh dengan maksiat, tempat para pelacur-pelacur manis menawarkan cinta. Tempat luka dan suka para penikmat cinta dari penjajah yang sudah terlajur gila dengan kenikmatan yang sesat itu. Tapi anehnya tempat itu tidak juga di musnahkan oleh warga-warga sekitar yang kerap kali mengganggu. Na’udzubillahminindzalik.

“maaf vi., aku g ngerti. Paling salah kirim. Tadi HP ku dipinjem tetangga”

maaf y vi.aku bener2 g ngerti.

Lantas pesan itu di kirim lagi ke nomor pribadi, soalnya tidak ada di list hand Phoneku. Selain itu, gungjingan-gunjingan ringan dari tetanggaku, sekarang sudah benar-benar adanya. Bukanlah sebuah omong kosong dan gosip belaka.

Saat itu, sontak aku marah, ku panggil ayahku yang sedang santai di ruang belakang, membetulkan kandang ayam. Kuajak dia di ruang atamu, aku ditemani ibuku. Lantas kuajak dia bicara dan menyuruhnya menjelaskan apa arti semua ini. Malu ataukah hanya sebuah alas an belaka, aku tak lagi bisa menerima penjelasannya. Sebagai seorang gadis remajanya untuk pertama kali aku berani memarahi ayahku sendiri, yang benar-benar telah menduakan cinta ibuku dan kami. Sejak itu aku benci dengan ayahku. Aku membencinya.

Entah bagaimana perasaan ibuku saat itu, yang jelas aku menangkap sinyal negative yang teramat menyiksa kesetiaan ibu.

Rasa ketidak tegaanku pada ibu, yang terlalu setia, membuatku benar-benar ingin melupakan sosok ayah. Tapi rasanya tidak mungkin, karena itulah orang tuaku. Apapun dan bagaimanapun, mereka tetap sandaran bagiku. Emosi ibu kali tak dapat dibendung, ibu benar-benar menjadi seorang wanita yang tegas, berani dan menuntut kejujuran serta haknya sebagai seorang istri. Pagi itu, cuaca dingin tak terasa di rumahku yang usah terlajur panas karena ayahku. Ibu mengusir ayahku dari rumah, sebagai seorang anak masih ada rasa tidak tega, tapi aku tak ingin menampakkan diriku saat ayah benar-benar akan berlalu. Aku menangis di balik pintu kamarku, tanpa ingin keluar sedikit pun.

Satu minggu aku dan keluarga terbisu dalam kesepian dan sebuah penyesalan, tapi semua sudah terjadi, aku hanya bisa pasrah dan berdo’a yang terbaik buat keluargaku nantinya.

Pagi ini ku kemasi bajuku, secukupnya dengan bekal uang tabunganku yang tak seberapa itu aku meminta izin kepada ibuku. Aku akan meninggalkan rumah, kujalani waktu ini dengan mengadu nasibku di kota orang, aku percaya Allah akan memberikan yang terbaik buat aku.

Sebenarnya ibu sangat menolak kepergianku, tapi karena tuntutan kehidupan juga akhirnya ibu berani melepaskan anak gadisnya. Hanya dengan niat aku berani mengambil keputusan yang sesungguhnya aku pun masih takut dan belum pernah mencobanya. Tapi apa yang ada di pikiranku berbeda. Di tempat yang sekarang ini, Tuhan memfasilitasi diriku, kudapatkan pekerjaan yang lebih baik. Hingga aku bisa mengirimi ibuku sedikit dari hasil kerjaku untuk meringankan biaya sekolah adik perempuanku yang masih duduk di bangku SMP dimana nantinya juga akan mengeluarkan biaya yang tidak sedikit. Sebagai seorang anak, sebenarnya ada keinginan untuk kuliah, tapi semuanya rasanya tidak mungkin, karena nasib berkata yang berbeda.

Kepergian ayah di kota orang tidak membawakan hasil sedikitpun. Uang hasil kerjanya dia habiskan untuk kepuasan dirinya semata. Tidak berubah karena disana dia masih menemukan sandaran-sandaran cinta paslu dari wanita-wanita yang bisa meluluhkan hatinya. Hal ini benar-benar membuatku kecewa. Bahkan lebih kecewa dari sebelumnya karena berita ini disampaikan oleh tetanggaku yang bekerja dekat dengan ayah.

Kepastian dan tekanan kehidupan ini juga yang memaksaku selalu ingin berubah menjadi lebih baik dan terbaik lagi. Ku nikmati pekerjaanku di rantau ini dengan segenap do’a yang besar. Hingga aku bisa membuatkan ibuku sebuah kios yang tidak seberapa besarnya. Tapi lebih baik dari yang kemarin, yang tak kumiliki sesuatu yang berhaga dalam hidupku, selain cinta dari keluarga itu saja. Dengan begitu ibu tidak lagi kesulitan dalam membiayai sekolah adikku.

Sering kali di kamar kosku aku merasa bersedih, mengingat-ingat peristiwa yang benar-benar sempat membuatku bersedih. Aku hanya bisa berdo’a itu saja dan berusaha mewujudkan doa-do’a itu.

Selama di kota orang aku puas dengan kehidupanku, kunikmati perjalanan cintaku juga seprti remaja-remaja pada umumya meskipun usiaku masih dini. Ku dapati perhatian dari kekasihku yang penuh dengan sejuta kasih saying itu selama dua tahun.

Kabar gembira datang kepadaku, perihal kepulangan ayahku dengan setulus penyesalannya. Di deritanya penyakit Malaria yang ganas dari tempat kerjanya. Entah karena penyakitnya atau dari hatinya yang benar-benar sudah ingin berubah. Semoga itu memang benar-benra dating dari jiwanya yang terlampau lama terapung dalam kenistaan yang hampir mengorbankan keluarganya. Semoga Allah senantiasa memberikan keterbukaan pada ayah yang telah berubah ini. Dan semoga juga ini ada adalah penyesalan yang benar-benar dating dari hati.

Penyesalan ayah ini kuterima dengan senang hati, lantas kabar gembira kedua adalah keseriusan kekasihku untuk menjalin cinta denganku. Ketika dia bersama kelurganya menemui kelurgaku untuk meminang/melamarku. Kehadiran mereka diterima dengan sangat ramah oleh kelurgaku. Keputusan yang sucipun akhirnya sampai pada kesepakatan. Tanggal pernikahan kami juga sudah ditentukan. Aku sangat merasa bahagia meskipun belum mendapati keluargaku seperti janji ayah. Tapi aku cukup senang karena penyesalan ayah benar-benar terwujud, sekarang ayah lebih rajin bekerja dan tentunya ibadahnya pun lebih giat dari pada dulu.

Pernikahanku di usia muda ini, tak membuatku takut sedikitpun, aku hanya bisa berharap setelah pernikahan ini aku bisa mendapatkan kehidupan yang lebih baik, begitu pula keluargaku.

Setelah pernikahan berlangsung aku ikut bersama dengan suamiku, di kota yang berbeda lagi. Karena suamiku berasal dari kelurga yang berada, dia sudah memiliki rumah sendiri. Sebagai istri kewajibanku adalah menurut dengan suamiku.

Tapi, dikota yang masih asing ini, rasa rinduku sebagai seorang anak terkadang sering membuatku inginbertemu dan bersama dengan kehidupan kelurgaku. Dengan Ibu, ayah dan adikku. Tapi semua sudah berubah, aku bukan hanya sebagai seorang anak saja saat ini, tapi aku telah menjelma jadi bidadari yang anggun bagi kelurgaku sendiri dan bagi suamiku.. Aku yang tidak lagi di perbolehkan bekerja ini tak lagi dapat mengirimi orang tuaku. Aku jarang berkunjung kerumah orang tuaku, bahkan mertuaku sendiri. Lantaran jarak memang sangat jauh.

Di rumahku yang penuh dengan kebahagiaan ini aku kembali hanya bisa berdo’a. semoga janji Ayah benar-benar sebuah janji, dan bukan sebuah janji yang manis belaka.

Ku tutup tirai rumahku yang besar ini, ku lihat senyum suamiku yang sedari tadi memperhatikanku dengan manja. Dan dia dapat meresakan tentang kerinduanku. Dia berjanji, besok pagi akan mengantarkanku mengunjungi kelurgaku.

Menanti, matahari menyingsing lagi, kuhirup sedapnya malam berdua…. Tanpa ada rahasia.

Label: | edit post
0 Responses

Posting Komentar